Tuesday 15 March 2016

Aliran Pendidikan

Latar belakang aliran pendidikan lahir salah satunya adalah pengaruh dari berbagai fisafat pendidikan yang di ungkapkan dari cara pandangnya. Aliran terbagi menjadi 2 yaitu aliran klasik dan modern. Aliran memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan, dan meneruskan warisan budaya. Secara umum pandangan pendidikan dibagi menjadi beberapa pandangan, yaitu :
1. Empirisme
   Empirisme berasal dari kata empiri yang berarti pengalaman. Tokoh empirisme ini adalah John Locke (1632-1704), dia adalah seorang ahli filosofi berkebangsaan Inggris. Locke percaya bahwa anak lahir di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan di atasnya sehingga aliran ini disebut juga dengan nama aliran tabula rasa. Kertas kosong atau meja berlapis lilin dapat ditulisi dengan sekehendak hati yang menulisnya. Menurut pandangan ini, kepribadian didasarkan pada lingkungan pendidikan yang didapatnya atau perkembangan jiwa seseorang semata-mata tergantung pada pendidikan. Pandangan ini juga berpendapat bahwa pendidik dapat berbuat sekehendak hati dalam pembentukan pribadi anak didik menjadi apa yang sesuai yang diinginkan. Pendidik dapat berbuat sekehendak hatinya, seperti pemahat patung kayu atau patung batu menurut kesukaan pemahat itu. Menurut aliran ini, mendidik berarti membentuk manusia sekehendak pendidik. Oleh karena itu, aliran ini bersifat optimis terhadap hasil pendidikan.
     Empirisme beranggapan bahwa seluruh pengetahuan adalah keluaran pengalama personal. Pengalaman semacam itu biasanya dianggap lahir dari perjumpaan daya tangkap indrawi antara individu dengan sebuah dunia yang mengada secara mandiri untuk diketahui (O'neil, 2002: 591). Sasaran pendidikan pada aliran ini, yaitu membentuk akal sehat dalam tubuh yang sehat. Belajar dari pengalaman lebih baik ketimbang membaca buku, meski membaca juga penting artinya untuk pendidikan. Anak-anak harus diberi tahu seperti apakah dunia itu sebenarnya supaya mereka siap menghadapinya dan tahu sejak awal mana yang baik, buruk, benar, dan salah.
2. Nativisme
    Nativisme berasal dari bahasa latin yaitu nativs yang berarti terlahir. Aliran ini adalah penganut dari salah satu filsafat idealisme. Tokoh nativisme adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang memiliki pandangan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran dan tidak mendapatkan pengaruh dari alam sekitar atau pendidikan sekalipun, dan itulah yang disebut kepribadian manusia. Aliran ini percaya bahwa potensi-potensi dari faktor gen  dan bukan hasil dari proses pendidikan. Tanpa keturunan yang baik tidak mungkin seseorang mendapatkan taraf yang dikehendaki, meskipun mendapatkan pendidikan yang maksimal (Triwiyanto, 2014; 32). Paham ini menentang paham empirisme yang dikemukakan oleh John Locke.
3. Naturalisme
    Pandangan ini hampir sama dengan nativisme. Karena pandangan ini menyatakan bahwa kecil kemungkinan manusia dapat dididik karena faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran. Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filosofi bangsa Perancis yang mengemukakan pendapatnya dalam bukunya Emile. Emile (1762) merupakan novel tentang seorang anak yang diasuh secara terpisah dari anak lainnya. Rousseau mengemukakan bahwa semua adalah baik pada waktu datang dari tangan sang pencipta, tetapi semua menjadi buruk di tangan manusia. Karyanya, The Social Contract (1763). Memiliki sumbangsih sekaligus motor revolusi Perancis dengan kalimat pembukanya yang terkenal "manusia terlahir bebas, tetapi dimana-mana ia terbelenggu". Rousseau percaya bahwa anak-anak lahir baik, tetapi rusak dalam tangan manusia. Karena anak manusia pada dasarnya baik sewaktu dilahirkan, anak harus diberi kebebasan untuk berkembang secara wajar, menurut alam kodratnya (naturalisme), tanpa dikorupsi oleh orang dewasa atau masyarakat.
4. Konvergensi
    Aliran ini merupakan sebuah usaha untuk mengompromikan dua macam aliran yang berbeda secara ekstrem, yaitu aliran empirisme dan nativisme. Tokoh aliran ini, yaitu William Stern (1871-1938), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman. William Stern (dalam Triwiyanto : 2014: 34) berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama pentingnya. Keduanya berpengaruh terhadap perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan anak tergantung pada besar kecilnya pembawaan serta situasi lingkungannya. William Stern dalam Suukardjo dan Komarudin (2010:31) menjelaskan bawha pentingnya pemahaman dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. Oleh karena itu, teorinya dikenal dengan sebutan konvergensi (konvergen berarti memusatkan ke satu titik).
5. Perenialisme
    Brameld dalam O'Neil (2002: 22) menjelaskan bahwa pada dasarnya perenialisme adalah sudut pandang dimana sasaran yang baik dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai, yang abadi dan tak terikat waktu serta tak terikat ruang. Perenialisme berakar pada tradisi filosofi yang bisa dilacak kembali ke filosofi Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Robert M. Hutchin. Perenialisme mengajukan keberadaan pola-pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal, yang melatari dan menentukan seluruh objek, serta peristiwa yang ada dalam kenyataan (objek dan peristiwa aktual). Cara pandang budaya menyeluruh perenialisme sangan bersifat mundur (regresif). Ia berusaha memulihkan tolak ukur-tolak ukur yang mengatur dunia zaman kuno dan zaman pertengahan dan mengandung sifat menentang demokrasi yang murni.
6. Essensialisme
    Berpegang pada pernyataan utama bahwa alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya, serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Oleh karena itu, tugas utama manusia adalah memahami hukum dan tatanan ini sehingga ia bisa menghargai dan menyesuaikan diri mengenalkan anak didik kepada karakter dasar alam semesta yang tertata itu dengan cara mengenalkan mereka pada warisa budaya (O'Neil, 2002:22).
Tujuan umum aliran ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, isi pendidikannya ditetapkan berdasarkan kepentingan efektivitas pembinaan kepribadian yang mencakup ilmu yang harus dikuasai dalam kehidupan dan mampu menggerakan keinginan manusia sehingga kurikulumessensialisme dianggap semacam miniatur dunia yang dapat dijadikan sebagai kenyataan, kebenaran, dan kegunaan. Dengan demikian, peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan menjadi lebih berfungsi, lebih berguna, dan berdaya guna sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial.
7. Progressivisme
    Tujuan sekolah, menurut pandangan progressivisme adalah meningkatkan kecerdasan praktis, serta untuk membuat siswa menjadi lebih efektif dalam memecahkan berbagai problema yang disajikan dalam konteks pengalaman pada umumnya (O'Neil, 2002:23). Pandangan progressivisme sebagai aliran baru berkembang dengan pesat pada permulaan abad 20, namun gari linier mundur kebelakangnya dapat ditarik hingga pada zaman yunani kuno, misalnya dengan tampilnya pemikiran Heraclitos, Socrates, dan Protogoras. Sementara itu, tokoh-tokoh pelopornya yaitu Benyamin Franklin, Thomas Paine, dan Thomas Jefferson.
Progressivisme mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan mengadapi dunia dan lingkungan hidupnya, serta mempunyai kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu untuk mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa depan.
8. Rekonstruksionisme
    Aliran ini berpandangan bahwa sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Aliran ini percaya bahwa teori pada puncaknya tak terpisahkan dari latar belakang sosial dalam suatu era kesejarahan tertentu. Aliran ini bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan nasional berada dalam pengayoman atau subordinat kedaulatan dan otoritas internasional.

0 comments: